Klarifikasi atas Pemberitaan Serial AKTA Ada Apa di Wibeng (dimuat di Harian Suara Merdeka 9 Juni 2012)
Salah Kamar Berbuah Penarikan
Oleh. Agus M. Irkham
Kabar
pustaka di media massa kembali menampakkan sisi antagonisnya. Setelah
beberapa waktu lalu ada temuan frasa “istri simpanan” di buku Lembar
Kerja Siswa kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Jakarta, kini mengemuka temuan
buku bacaan pengayaan di perpustakaan SD yang disakwangsakan isinya
menjurus pada pornografi. Buku tersebut yakni Ada Duka di Wibeng,
Tambelo Kembalinya Si Burung Camar, dan Tidak Hilang Sebuah Nama.
Ketiganya
ditemukan di perpustakaan-perpustakaan SD di Kabupaten Kebumen. Dari
ketiga judul tersebut, pertama disebut disangkakan yang paling menjurus
ke pornografi. Indikasinya ada dialog tentang trik berhubungan seks yang
aman agar tidak hamil dan menceritakan cara KB kalender. Adalah Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dinpora) Kabupaten Kebumen yang
kemudian memutuskan untuk menarik ketiga buku terbitan PT Era Adi Citra
Intermedia Solo itu dari seluruh perpustakaan SD di Kebumen yang
berjumlah tak kurang dari 136 SD. (Suara Merdeka, 1-2 Juni 2012).
Ada
Duka di Wibeng (ADdW). Kebetulan saya sudah membaca secara lengkap buku
tersebut. Termasuk membaca ulang bab “Asal Mau Sama Mau?”—halaman 104,
bukan halaman 93 seperti yang pernah diberitakan—yang disebut bermuatan
pornografi itu. Tulisan ini tidak saya maksudkan sebagai pledoi atau
sebaliknya upaya untuk memperkuat dakwaan bahwa buku karya Jazimah Al
Muhyi ini memang tergolong buku lucah.
Pembacaan jernih
atas sengkarut persoalan buku ADdW ini akan saya dekati dengan dua
analisis. Pertama, analisis isi (content analysis), dan yang kedua,
analisis bingkai (frame analysis).
Pertama, soal isi. Buku
setebal 180 halaman—bukan 168 halaman seperti yang sering dikutip
media—berisi tentang kehidupan remaja SMA. Wibeng adalah singkatan dari
Widya Bangsa, nama SMA. ADdW adalah buku ketiga setelah buku “Kelelawar
Wibeng”, dan “Gendut Oke, Hitam...”. Ketiganya dilabeli dalam satu nama:
Serial Akta. Akta adalah nama tokoh utama di buku serial novelet
tersebut.
Karena tentang remaja SMA, tentu saja persoalan
yang diangkat sangat bertalian dengan kehidupan mereka. Mulai dari soal
tawuran pelajar, geng, virus merah jambu (cinta) yang didasarkan pada
keterpesonaan fisik, hingga soal pemahaman dan pengetahuan remaja soal
seks. Melaui Serial Akta ini, nampak sekali niatan penulisnya untuk
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang terhadap konstruksi awal
atas tema-tema di atas. Dan proses rekonstruksi itu melalui dialog para
tokoh di buku tersebut. Kesadaran yang ditumbuhkan dari dalam si pembaca
melalui dialog-dialog tokohnya.
Betul, ada dialog yang
memakai frasa “KB Kalender”. Tapi sejauh amatan saya yang lebih dari
sepuluh kali saya baca ulang, di buku ADdW tidak ada keterangan satu
kata pun tentang teknik atau cara ber-KB Kalender. Dan saat frasa itu
terucap, oleh penulisnya dibangun suasana ketidaksetujuan (negasi),
protes dan marah yang muncul dari si tokoh utamanya: Akta. Dengan
deskripsi: “Akta berlalu cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi
yang diselingi suara cekikikan.” (hlm 105).
Tidak berhenti
itu, si penulis masih melalui tokoh utamanya: Akta, menyatakan
ketidaksetujuannya dengan secara eksplisit mengutip Surat Al-Baqarah
(175): “Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk
dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api
neraka!” (hlm 106).
Ketiadaan pemahaman tentang konteks
suasana saat frasa “KB Kalender” terucap akan membawa pada simpulan
bahwa frasa itu menjadi frasa bermakna lucah (cabul). Dan tentu saja,
tentang konteks atau suasana (faktor intrinsik) yang bangun penulisnya
saat dialog berlangsung ini tidak akan bisa dipahami oleh anak-anak SD.
Dan memang, sejak awal—sesuai dengan keterangan yang tertera di kover
depan dan belakang, serta isi dalamnya—novelet ini untuk para pembaca
(minimal) usia SMA.
Tapi entah bagaimana ceritanya ADdW
bisa kesasar ke perpustakaan SD. Salah kamar yang pada akhirnya berbuah
penarikan. Dan penarikan itu didasarkan pada proses pendarasan yang
parsial, dan terburu-buru. Penarikan itu hanya bisa dibenarkan karena
alasan tidak tepatnya kualifikasi bacaan dengan sasaran pembaca. Bukan
karena isinya yang mengarah pada kelucahan.
Cetakan
pertama ADdW Juli 2006. Hingga 2012 berarti lima tahun. Artinya, sebelum
“kasus Kebumen” muncul, sepanjang hampir enam tahun itu tidak pernah
ada yang mempersoalkan buku tersebut. Alih-alih menggolongkannya sebagai
karya lucah, bahkan telah cetak ulang. Dan sejak Mei 2009 telah lulus
seleksi Pusat Perbukuan untuk menjadi buku pengayaan. Sertifikasi
kelulusan itu dapat dibaca sebagai bentuk afirmasi Pemerintah (via
Pusbuk) terhadap isi buku ADdW.
Kedua, analisis bingkai.
Pendekatan kedua ini akan memuat latar belakang suasana sosial-batin
penulisnya. Jazimah Al Muhyi, bukanlah penulis baru. Berdasarkan
penelusuran dan data yang saya miliki, ia menulis dan menelurkan buku
sejak tahun 2001. Tak kurang dari 40 buku telah ia semai ke pasar. Baik
berupa buku utuh, kumpulan cerpen, antalogi cerpen bersama penulis lain,
novelet, dan kumpulan esai. Meskipun tema-tema buku yang ia tulis
beragam, ada satu garis lurus yang bisa saya tarik, yaitu semua memiliki
semangat untuk perbaikan (baca: dakwah). Tanda yang paling nampak ke
arah simpulan itu adalah sebagian besar bukunya berkover wanita
berjilbab. Termasuk buku ADdW. Barangkali ini ada kaitan erat dengan
komunitas yang ia libati saat awal-awal menulis, yaitu Forum Lingkar
Pena (FLP). Publik luas telah mengenal FLP sebagai komunitas kepenulisan
yang berjuang mengangkat sastra islam ke pentas nasional dan mondial.
Nah
tentu saja, akan menjadi sangkaan yang absurd dan menciderai akal sehat
publik jika Jazimah Al Muhyi ini dikatakan menulis buku yang isinya
mengarah pada pornografi. Terlalu besar biaya sosial dan moral yang
harus ditanggung. Baik ia sebagai pribadi (penulis), maupun sebagai
salah satu pegiat FLP.
Agus M. Irkham
Pegiat Literasi. Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat.