Sebait Rindumu, Michelle
Azzura Dayana
Sumber : Annida No 11/XIV/16-30 Maret 2005
Pangkal Pinang, 2004
setiap kali memandang mata lukisan kucing putih yang tergantung di dinding kamarku, aku selalu teringat pada sepasang mata yang sama. biru dan sipit, tetapi bukan mata kucing. ia sepenuhnya manusia.
malam beranjak larut.bintang itu masih setia disana. Memancarkan sinar bersahabat. " Bintang itu milik kita,Tan", seperti terdengar lagi suaranya berbisik di telingaku.
Tidak,Mich.Aku menggeleng. Bintang itu bukan milik kita, Bintang itu milik Rabb-ku. dan harusnya Rabb-mu juga.
Indralaya, awal September 2001
Gadis itu telah menjadi perhatianku sejak pendaftaran ulang mahasiswa baru di kampus kami, Unsri. Ia memamng manusia. tapikendatupun begitu, ada banyak hal pada dirinya yang membuatku mengganggap dirinya sebagai kucing. matanya yang tajam dan bersinar, kulit putihnya yang bersinar seperti bulu kucing, kuku-kukunya yang panjang, serta sikapnya yang kadang malu-malu di hadapan orang banyak. tapi seketika menjadi lumayan lahap bila membelakangi orang.
"Hah?Cowok gombal.Masa menyamakanku dengan kucing?!" gerutunya ketika kusampaikan pemikiranku. Tangan panjangnya membuka loker dan mengambil sesuatu dari sana. Sekilas ia menatapku konyol. Benar-benar cewek unik.
Gadis itu memakai sepatu sport hitamnya tergesa.Alisnya terangkat ketika mulutnya mendesah."Well,it's up to you. But,a sweet cat!Okay?"
Aku tertawa.Dia berlari mengejar tim basketnya yang bersiap kelapangan. Siang ini memamng ada pertandingan basket antar fakultas.
Indralaya, awal Oktober 2001
Aku mulai bersahabat dengan cewek jangkung yang unik itu. Bukan cuma unik,kadang juga menjengkelkan karena'sifat kucing'nya.
"Titan , dipanggil Pak Zaky." ujar Arum, Temanku ketika aku asyik mengunyah burger ayam di meja kantin. Aku beranjak dari kursi.
"Selesaikan dulu makannya,Tan." Kata Arum lagi.
"Sekarang saja.Rum.Takut penting," jawabku.
" Tidak sayang sama buger kamu?" Arum menggodaku seraya melirik burger ayamku yang nyaris utuh.
"Tenang.Kamu sudah kenyang kan,Sweet Cat? "Teman makanku itu mengangguk, tanpa bergeming dari kursinya. Ia sendiri sudah selesai dengan porsinya.
Kutemui dosenku,{ak Zaky. Tidak lama, hanya limabelasmenit. Dan ketika kembali ke kantin, Sweet Cat sudah tidak adalagi, juga burger ayamku.
Kubaca kertas kecil yang tertinggal di meja ;"Sorry burgermu menggodaku. Aku jadi lapar lagi. Sekalian, porsiku juga belum kubayar. Satu lagi : I'am Michelle, no Sweet cat. Thanks. Bye!".
Indralaya, akhir Oktober 2001
" Halo, kakak Tingkat!"gadis itu mengejutkan aku yang sedang melamun di bangku taman.
Aku tidak menggubris sapaaanya. hanya sedikit memicingkan mata karena bandul salib besar di lehernya yang silau terkena matahari.
" Kenapa murung?" tanyanya seraya mengambil tempat didekat ku.
"Ucapkan selamat jalan padaku. Hari ini terakhir kalinya aku di sini." aku menaikan kedua kakiku ke atas bangku dan memeluk lutut tak bersemangat.
" Jadi, tawaran ayahmu itu serius?"
Aku mendesah." Kenapa aku punya ayah yang otoriter begitu? Heran, orang lain susah payah ingin kuliah di sini, aku malah disuruh pergi dari sini."
" Bodoh, kau laki- laku. Jangan tunduk saja dong. Lawan!
Kalau
aku jadi kau sudah lama aku berontak.
Lagi
pula, kau baru semester tiga, belum pantas mewarisi tahta perusahan ayahmu.”
Sahabatku itu menudingku.
”
Aku sudah katakan tidak siap, Sweet cat. Tapi ini resikoku sebagai anak
tunggal. Lelaki satu-satunya. Aku mencoba mengalah, dengan menuntut melanjutkan
kuliah sambil menjabat. Tapi ayahku bersikeras, katanya tuntutan macam apa itu?
Kerja ya kerja. Kuliah di cukupkan supaya kerja tidak stengah-setengah. Aku
tidak sanggup mandiri jika bertekad melarikan diri. Lagi pula, aku tidak
mungkin melakukan itu.
Sweet
cat menghela napas berat. Dapat kulihat sebongkah kesedihan di mata kucingnya.
Malam
terakhirku di Indralaya, dia bahkan masih sempat menelponku.
” Kau lihat bintang yang paling
terang itu, Titan?”
Aku menyibak tirai kamarku. Kucari
bintang yang ia maksud.”So,what?”tanyaku hambar.
“Bintang
itu milik kita,Tan. Bintang persahabatan Kita. Aku ingin kau melihatnya setiap
malam, walau di Pulau Bangka itu nantinya.”
Aku
menarik nafas. Kutunggu suaranya lagi, tapi ia juga diam.
”
Hei. Kau bukannya takut kehilangan aku, kan?” tanya jenaka.
”
Tentu saja tidak!”tukasku,bertentangan dengan hatiku.””Mm...maksudku..sedikit.”
Dia tertawa kecil di ujung
telepon.
Sweet Cat is always in your
heart, wherever you are.”
“ Yeah. Maafkan aku sering
mengejekmu dengan nama itu.”
” Aku tidak marah.Aku berbohong
waktu kukatakan aku tidak suka itu.”
”Terimakash untuk segalanya. Selamat
tinggal, Michelle, ucapku pilu. Sempat ku tangkap tawa sedihnya ketika
kupanggil dia pertama kalinya dengan nama itu.
Michelle. Nama yang bagus
Pangkal Pinang, pertengahan
2004
Kucing putih yang manis.
Sepertinya kenangan itu telah jauh
tertinggal. Mata itu kini terlihat kusam. Sinar serinya pudar entah
di telan masa yang mana. Mungkin setelah sepeninggalku, atau mungkin begitu
melihat aku yang sekarang, Entahlah.
”
Masih ingat aku,Tan?” sapa pertamanya ketika kudapati dia di muka rumah
kontrakanku sepulang menarik taksi malam itu. Aku memang bekerja setegah hari
hingga larut mala, paginya kuliah.
”
Baguslah,”.Dia melihat anggukanku. Mata tanjamnya mengamatiku dari ujung rambut
sampai ujung sepatu. Kubiarkan tangannya terulur.
”
Aku tak percaya kau mencariku hingga ke sudut kota ini. Untuk apa ? ”
”
Tentu saja untuk menginterogasimu”, ujarnya. ” Tenang, orang tua mu at akan
tahu. Ku temui beberapa hari lalu pu, sepertinya mereka tidak peduli lagi
dengan keberadaanmu. Malah, sekarang mereka telah mengangkat dua orang anak,
tentu saja yang lebih berbakti dari mu.”
Aku
tak menjawab apa pun. ” Kau menyedihkan sekali...” tatapannya aneh.
Ungkapan
yang sama seperti ayah, Oh Tuhan, kenapa orang- orang seperti mereka tidak
pernah bersedia menyelami dahulu apa yang telah aku alami sebelum mereka
berburuk sangka ?
Gadis itu duduk di atas kursi beranda.
Aku memang tidak berniat mengajaknya masuk ke dalam, Iwan belumpulang. Aku
tidak mau berkhalwat.
“ Jangan khawatir, kau akan tetap
menjadi teman terbaikku. Aku masih akan menerima mu asal...” ia
berhenti sejenak.
”
Kita kembali lagi seperti dulu. Bersahabat erat, berada di jalan kita.
Tinggalkan kehidupanmu yang konyol ini, Tan.”
”Aku
tidak bisa, ” sahutku tetap dalam posisi berdiri, tanpa sekejap menatapnya.”
ini jalan yang telah aku pilih.”
”
jalan apa, Tan ? jalan kehinaan, yang membuatmu diusir dari rumah, tidak
dianggap anak, lalu hidup sengsara di tempat ini ? Islam itu apa,Tan? Hingga
kau rela tinggalkan semuanya. Kau lihat orang Islam di luar sana,yang...”
”
Jangan hina agamaku, Michelle,”sergahku cepat.
”Kau
melihatnya dari sisi ketidaktahuanmu. Dulu aku pun berusaha menolaknya. Tapi
semakin kulakukan itu, semakin aku tidak bida membutakan mataku darinya. Tak
mungkin kujelaskan semuanya dalam satu waktu. Aku mempelajarinya begitu lama.
Jika kau mau mencobanya, aku akan sangat berbahagia. Dulu kita bersahabat. Dan
hingga hari ini kita tetap bersahabat,. Hanya caranya yang berbeda.”
Kepulangan
Iwan menuntaskan pertemuan kami malam itu. Michelle beranjak tanpa meninggalkan
satu kata
Pangkal
Pinang, Juli 2004
Hidupku
memang berubah. Pada awal masa jabatanku di cabang baru perusahaan Ayah disini,
aku merasa gerah. Tak pernah ada kata konsentrasi dalam kamus kerjaku. Ayah
menetap di Jakarta bersama Ibu, mengurus perusahan pusat. Aku sendirian di sini
Yang
kurindukan hanya kuliah. Semuanya tentang kuliah :kampus, teman-teman, dosen,
dan buku-buku. Ujung-ujungnya tempat peredaranku akhirnya sekolah-sekolah
tinggi yang ada di Pangkal Pinang. Kegiatanku sehari-hari adalah membaurkan
diri dengan para mahasiswanya, tentu saja dengan menyembunyikan jati diriku
pada awalnya. Kutinggalkan sama sekali wilayah kerjaku.
Dalam
pergaulan inilah aku bertemu dena Iwan dan teman- temannya. Para aktivis kamus
yang cita mushala, maksudku selalu menghidupkan mushola dengan banyak kegiatan.
Awalnya terasa aneh bagiku, sebab sangat berbeda dengan keyakinanku. Tapi
penerimaan dan keakraban mereka makin merekatkan hubungan kami. Iwan menjadi orang terdekatku yang sering
kuajak curhat. Aku berkenalan dengan banyak orang Islam. Mulai dari
teman-teman Iwan lainnya, keluarganya, para akhawat sampai ustadz. Mau tidak
mau, pengetahuan Islamku menggunung. Dan satu tahun kemudian aku bersyahadat.
Perusahan yang harusnya menjadi tanggung jawabku lumpuh total, sejak di awal
aku melalaikannya. Sempurnalah alasan kemurkaan ayah dan ibu begitu mengetahui
semuanya. Ayah hampi saja membunuhku. Aku di usir dengan menyakitkan.
Itu
semua adalah dulu, sudah berlalu.
Michelle
masih juga menemuiku. Keagresifannya membuatku pusing. Sore ini, ia menungguku
lagi didepan rumah. Kali ini sikapnya terlihat baik. Ia meminta maaf atas
kejadian tempo hari.
” Baiklah,
aku terima.” Aku menghindari tatapan penyesalanya. ” Aku hanya tidak ingin
dengar kau menjelek- jelekkan agamaku. Itu saja.
Mata
kucing itu menukikku. Astaghfirullah.
”
Rasanya...aku ingin tahu sesuatu tentang Islam,” ujarnya, membuat alisku
terangkat.
” itu bagus.Aku bersedia
membantu.”
“Yah…”dia
mencibirku. “ ingin sekali kucari penyebab ketololanmu ini. ” Tanggannya
mengulurkan secarikkertas padaku, lalu berlalu pergi. Aku menghela napas.
Agustus
2004
Jam 9
malam. Aku sengaja pulang larut. Penghasilanku menurun. Namun ini tidak
mengurangi kesyukuranku.
Aku bersyukur,
Tuhan telah membawaku pada Islam,memiliki saudara-saudara seiman yang selalu
meneguhkan. Tidak masalah kondisi finansialku jatuh drastis. Teman-temanku
bukanlah orang-orang yang berada seperti diriku dulunya. Aku juga tidak mau
menyulitkan mereka.
”
ikut denganku,Tan!”Michelle tiba-tiba muncul begitu saja di hadapanku,
berpakaian serba hitam dan bertopi. Ia tak berkurang cantik, namun tak
bertambah matang.
” Malam-malam
begini, apa yang kau lakukan, Michele?” tanyaku heran. ” kau seorang gadis,
mana boleh berkeliaran seperti ini ?! kau tinggal dimana ? Pulang saja”
Aku tahu
Michele seorang karateka. Tapi tetap saja, ini tidak pantas.
”
Kau mengkhawatirkanku ? Apa kau masih menggapku orang yang patut kau pikirkan ?”
”
Aku hanya ingin kau pulang !”tegas ku